Senin, 04 Mei 2009

Bidadari di Benaku



Dua hari aku tidak masuk kuliah. Keadaanlah yang membuat aku harus bekerja keras banting tulang mencari rizki untuk beli buku dan bayar rumah kost yang tiap tahun makin mahal.

Kuliah di luar negri tidak ada jaminan segalanya mudah. Semuanya mesti di barengi pengorbanan, kerja keras, do’a dan menyingkirkan sikap gengsi dan rasa malu. “Aku tidak boleh mengeluh” Ujar hatiku tatkala merenungi pekerjaanku selama ini.

Setelah memijit bel masuk, trak suara pintu terbuka. Ahmad yang malam itu membukakan pintu.

“Maaf Kang, tadi Ahmad kunci pintunya, karena sudah malam” Ucap ahmad sambil melemparkan senyum ke arahku. Aku pun membalas senyum ke arahnya di sela-sela rasa cape yang membungkus seluruh tubuhku.

“Nggak apa-apa kok. Maaf ya Mad ganggu belajarnya” ujarku sambil menyimpan sepatu ke rak kayu khusus tempat sandal dan sepatu.

“Nggak ganggu Kang, Sengaja Ahmad belum tidur takut nggak ada yang buka pintu.” Ucapnya sambil menutup buku Tauhid yang melekat di tangan kanannya.

“Yang lain sudah tidur?” tanyaku menanyakan keadaan teman-temanku yang sudah tidak kelihatan.

Udah” Ucap Ahmad memberikan penjelasan.

“Lanjutkan belajarnya, mau istirhat bentar sebelum sholat ‘isya” Ucapku.

Bruk Akupun melemparkan badan keatas kasur yang sudah tergelar. Akupun terlentang sambil melihat langit-langit kamar yang berwarna putih. Saking enaknya merebahkan badan di atas kasur lamunan pun menjemput.

Seorang perempuan cantik berkerudung putih menjemput tatkala aku pulang kerja. Rasa cape yang mebalut tubuhku hilang tatkala bibir munggilnya menyunggingkan senyum manis penuh ketulusan. Tanganya reflek mengambil tas yang aku tenteng. Sambil mengucapkan salam.

Setelah menyimpan tas lusuhku serta merta dia pergi kedapur dan pulangnya membawa segelas air putih.

“Abi, minum dulu ya! Maaf bi cuman ada air putih” ucapnya sambil melemparkan senyum khasnya. Ku rasakan air putih itu bagaikan madu murni di tenggorokanku dan mampu mengilangkan rasa cape yang ku derita.

“Bi, Air udah hangat mau mandi sekarang?” Ucapnya lagi

“Bi, mandi dulu ya, nanti kita berjama’ah ‘Isya bareng. Umi juga belum sholat. Menunggu Abi, karena ingin berjama’ah bareng Abi.” Ucap bibir munggilnya menggemaskan.

Setelah sholat berjama'ah dan merangkai do'a yang diamininya. Akupun melemparkan pertanyaan kepadanya.

“Umi! Apakah Umi ikhlas dinikahi Abi yang serba kekurangan? Apakan Umi ridho menerima abi apa adanya?.”

Seringai senyum kembali menghiasi dua bibir manisnya.

“Abi Umi ikhlas dan Umi sangat bahagia bisa nikah dengan Abi orang yang sangat Umi Cintai. Abi kebahgiaan hakiki itu adalah di surga Allah nanti. Abi kebahagiaan Umi itu adalah mampu menjadi isteri yang terbaik buat Abi. Bi kebahagiaan kita adanya di hati bukan pulasan duniawi belaka.” Ucapnya sambil memeluk tubuhku mesra.

“Wahai bidadariku…Engkau adalah permata di hatiku…Bidadariku kita jangan mengeluh walau kita hidup sederhana, asalkan selamanya kita dalam ridho Allah. Bidadariku Abi akan berusaha untuk membahagiakanmu dan Abi tidak akan menyerah dengan keadaan saat ini.” Ucapku lirih sambil membalas pelukan mesranya.

“Kang! Ahmad duluan, dah ngantuk, takut kesiangan shubuh.” Ahmad menyadarkanku yang terbawa oleh lamuan.

“Iya Mad. Silahkan” Ucapaku…

Setelah sholat ‘Isya akupun tertidur pulas mengistirahatkan tulang belulang dan otot-ototku di gelap malam yang menyihir kota Kairo dengan kesunyiannya.

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template