Minggu, 04 Januari 2009

Hikmah di Balik Kisah Berjilbabnya Sandrina M Fatah . Bag II



Benar saja. Sekitar satu tahun setelah saya mundur dari Metro TV, ibu
saya
terkena radang pankreas akut dan mesti dirawat intensif di rumah sakit.
Saya
tak bisa membayangkan, jika saja saya masih aktif di Metro TV, bagaimana
mungkin saya bisa mendampingi Ibu selama 47 hari di rumah sakit hingga
Allah
memanggilnya pulang pada 28 Mei 2007 itu. Bagaimana mungkin saya bisa
menemaninya selama 28 hari di ruang rawat inap biasa, menungguinya di
luar
ruang operasi besar serta dua hari di ruang ICU, dan kemudian 17 hari di
ruang
ICCU?

Hikmah lain yang saya sungguh syukuri adalah karena berjilbab saya
mendapat
kesempatan untuk mempelajari Islam secara lebih baik. Kesempatan ini
datang
antara lain melalui beragam acara bercorak keagamaan yang saya asuh di
beberapa
stasiun TV. Metro TV sendiri memberi saya kesempatan sebagai tenaga
kontrak
untuk menjadi host dalam acara pamer cakap (talkshow) selama bulan
Ramadhan.

Karena itulah, saya beroleh kesempatan untuk menjadi teman dialog para
profesor
di acara Ensiklopedi Al Quran selama Ramadhan tahun lalu, misalnya. Saya
pun
mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pemahaman baru tentang agama dan
keberagamaan. Islam tampil makin atraktif, dalam bentuknya yang tak bisa
saya
bayangkan sebelumnya. Saya bertemu Islam yang hanif, membebaskan,
toleran,
memanusiakan manusia, mengagungkan ibu dan kaum perempuan, penuh
penghargaan
terhadap kemajemukan, dan melindungi minoritas.

Saya sama sekali tak merasa bahwa saya sudah berislam secara baik dan
mendalam.
Tidak sama sekali. Berjilbab pun, perlu saya tegaskan, bukanlah sebuah
proklamasi tentang kesempurnaan beragama atau tentang kesucian. Berjibab
adalah
upaya yang amat personal untuk memilih kenyamanan hidup.

Berjilbab adalah sebuah perangkat untuk memperbaiki diri tanpa perlu
mempublikasikan segenap kebaikan itu pada orang lain. Berjilbab pada
akhirnya
adalah sebuah pilihan personal. Saya menghormati pilihan personal orang
lain
untuk tidak berjilbab atau bahkan untuk berpakaian seminim yang ia mau
atas
nama kenyamanan personal mereka. Tapi, karena sebab itu, wajar saja jika
saya
menuntut penghormatan serupa dari siapapun atas pilihan saya menggunakan
jilbab.

Hikmah lainnya adalah saya menjadi tahu bahwa fundamentalisme bisa
tumbuh di
mana saja. Ia bisa tumbuh kuat di kalangan yang disebut puritan. Ia juga
ternyata bisa berkembang di kalangan yang mengaku dirinya liberal dalam
berislam.

Tak lama setelah berjilbab, di tengah proses bernegosiasi dengan Metro
TV, saya
menemani suami untuk bertemu dengan Profesor William Liddle " seseorang
yang
senantiasa kami perlakukan penuh hormat sebagai sahabat, mentor, bahkan
kadang-kadang orang tua " di sebuah lembaga nirlaba. Di sana kami juga
bertemu
dengan sejumlah teman, yang dikenali publik sebagai tokoh-tokoh liberal
dalam
berislam.

Saya terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusan saya
berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan sejumlah
komentar
buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan Metro TV untuk melarang
saya
siaran karena berjilbab. Salah satu komentar mereka yang masih lekat
dalam
ingatan saya adalah, Kamu tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang
benar.

Bersambung ...

0 komentar:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template