Sabtu, 20 Desember 2008

Badru bercita-cita jadi karyawan TV


Nama lengkapnya Badruzaman, biasa disapa Badru. Ukuran tubuhnya tergolong kurus. Meski demikian jangan remehkan semangatnya! Untuk sampai ke sekolah setiap hari ia menyeberangi sungai Cikaengan selebar tidak kurang dari 70 meter yang memisahkan Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut dan Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya.

Sejak awal 2007 telah banyak media, baik media cetak maupun media elektronik yang memberitakan perjuangan Badru dan kawan-kawannya untuk mendapatkan pendidikan. Namun hingga kini belum ada “hasil” atau perubahan yang berarti. Badru dan 15 kawannya tetap harus menyeberang sungai untuk sampai ke sekolah. Tetap saja air mengalir deras kedalam kelas saat hujan datang. Semuanya belum ada yang berubah.

Yang berarti bagi Badru dengan kehadiran media di kampung dan sekolahnya adalah cita-citanya. Bila ditanya cita-citanya, dengan mantap ia akan menjawab: “menjadi karyawan tv.” Maksudnya adalah reporter atau kameramen.

Ia begitu bersemangat ketika saya mempersilahkannya untuk mencoba kamera digital yang saya bawa. Dengan hanya bermodalkan sedikit arahan, ia begitu bangga menangkap berbagai suasana di sekolahnya.

Saya pikir hanya itulah “perubahan” konkrit yang dapat saya sumbangkan bagi Badru. Hanya meminjamkan kamera itulah yang sedikit atau banyak akan menginspirasi Badru untuk terus mengejar cita-citanya. Siapa tahu, suatu waktu dimasa depan, Badru akan menggantikan Oscar Motulloh atau Arbain Rambey.

Badru terduduk lesu diatas batu besar di pinggir sungai. Baju putihnya yang dekil disampirkan di pundak kirinya. Ukuran tubuhnya yang kecil kurus tampak kontras dengan batu kali yang didudukinya. Celana pendek merah yang dikenakannya tak jauh beda kumalnya dengan bajunya. Dengan posisi duduk di atas batu, jelas terlihat ada jahitan tangan tepat di tengah diantara dua pahanya, jahitan dengan benang warna putih yang simpang siur membuktikan bahwa jahitan itu dibuat oleh tangan yang tak terbiasa melakukan tugas jahit menjahit. Resleting celana Badru sudah lama rusak, upaya untuk menutupinya adalah dengan memakai peniti yang disematkan ditengah-tengah resleting, meski demikian angin masih bebas berhembus ke dalam celananya lewat celah itu.

Lamunan Badru, bocah kelas lima SD itu tak terganggu dengan keceriaan teman-temannya yang berenang, meloncat, menyelam, dan saling memercikkan air di pinggiran sungai itu. Di tengah sungai arus mengalir deras, alirannya berbuih-buih ketika manabrak batu-batu yang beraneka ukuran, suara arus sungai mengalahkan celoteh dan keriangan anak-anak itu.

Badru bocah kurus berambut lurus memang pantas bersedih. Sudah 4 hari ia tak bisa pulang ke rumah orang tuanya yang terletak di seberang sungai tepatnya di Kampung Bantar Bodas, Desa Simpang, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Beginilah resiko yang harus dijalaninya karena ia bersekolah di SDN Karyasari, Kecamatan Bojonggambir, Tasikmalaya. Antara rumah dan sekolahnya dipisahkan oleh Sungai Cikaengan selebar tak kurang dari 70 meter. Ia terpaksa memilih bersekolah di sekolah desa seberang sungai karena itulah sekolah dasar yang terdekat dari rumahnya.

Saat itu arus sungai begitu deras, tak ada orang yang mampu menyeberanginya, siapa pun yang nekat dan sekuat apapun langkah orang itu, ia pasti akan terseret arus, terlebih anak-anak. Kawan-kawan Badru masih tetap asyik bermain di pinggiran, membunuh waktu sambil berharap air sungai bisa surut secara tiba-tiba dan mereka bisa berlari melintasi sungai pulang ke rumah. Badru masih diam di tempat, seolah ingin menemani batu besar yang telah puluhan tahun diam ditempatnya yang saat ini didudukinya.

Lamunan Badru akhirnya hapus, saat seorang kawannya dengan tiba-tiba mendorong dari belakang. Badru terpental dan meluncur ke sungai. Kawan-kawan lainnya yang ada di pinggiran sungai bersorak-sorak. Saat tubuh Badru yang tak siap itu jatuh ke sungai, airnya berpendar seperti air dalam baskom yang dihentakkan tiba-tiba. Tubuh Badru tenggelam, namun hingga riak air kembali tenang Badru tak juga muncul. Melihat kejadian itu, tak ada lagi mulut bersorak, tak ada lagi tangan bertepuk. Badru tenggelam, hilang. Teman-temannya hanya mematung. Namun disaat anak-anak berpikir bahwa Badru mungkin celaka, tiba-tiba Badru meloncat dari dalam air, sambil memutar-mutar baju seragam yang basah di tangan kanannya. Rambutnya yang basah menutupi sebagian wajahnya, mulutnya monyong-monyong seperti ikan mas yang diangkat dari air.

“Wuaaaa…” Badru berteriak seolah merasa dirinya adalah Rambo yang muncul dari sungai lalu memberondongkan senjatanya ke arah musuh. Teman-temannya menutup mata dan ada yang menghindar cipratan air yang ditimbulkan dari putaran baju basahnya. Mereka kembali meloncat ke arah sungai dan bersama-sama main perang air.

Didalam air Badru lupa akan kesedihannya. Ia tertawa-tawa lepas bersama teman-temannya. Arus sungai di tengah masih saja deras. Badru dan kawan-kawanya tak perduli bahwa hari itu mereka kembali tak bisa pulang kerumah terhalang arus sungai yang deras.

* * *

Setiap pagi saat waktunya berangkat sekolah Badru dan 15 kawan lainnya yang tinggal di Desa Simpang berdiri di pinggir sungai. Suara arus sungai bergemuruh, ilalang dan semak masih basah oleh embun pagi. Setelah orang-orang dewasa memastikan bahwa arus sungai aman untuk diseberangi, mereka bersorak riang sambil melepaskan seragam sekolah mereka. Anak laki-laki biasanya tanpa malu-malu bertelanjang, melipat seragam dengan asal-asalan, menitipkannya pada orang dewasa, lalu terjun bebas ke sungai.

Orang-orang yang biasa menyeberang sungai disini memiliki cara sederhana untuk menandai apakah arus sedang membahayakan atau tidak. Pertama adalah bila awan di arah hulu Sungai Cikaengan terlihat hitam tebal, itu adalah pertanda bahwa di kawasan hulu akan atau sedang turun hujan, maka air sungai yang tenang bisa saja naik secara tiba-tiba. Kedua adalah bila air sungai berwarna keruh coklat berlumpur yang menandakan bahwa arus sungai meluncur sangat deras sehingga lumpur didasar sungai teraduk-aduk seperti susu coklat di dalam gelas. Ketiga, ini adalah cara yang paling sederhana yaitu bila batu besar bulat mirip bakpau yang tepat berdiri di tengah sungai tak nampak maka itu berarti ketinggian air sedang naik dan air sungai tak akan mengijinkan orang untuk melintasinya.

Penduduk desa seolah begitu kenal dengan tanda-tanda alam, inilah salah satu kearifan khas warga desa. Bandingkan dengan orang yang hidup di kota besar, apakah mereka mengenali tanda-tanda alam? Apa yang orang kota lakukan ketika suhu udara makin hari makin terasa panas? Orang kota malah terus menggusur ruang terbuka hijau, menebangi pohon-pohon besar di pinggir jalan yang sudah hidup di tempatnya sebelum nenek mereka lahir. Orang kota hidup dengan cara yang aneh, saat udara terasa makin panas mereka lebih memilih memasang ac atau air conditioner di tiap ruang di rumah, di kantor, di gedung-gedung, di tempat perbelanjaan, bahkan hingga di tempat ibadah! Mereka tak suka menanam pohon di pekarangan. Benar-benar cara hidup yang aneh.

Meski tak menyadarinya Badru dan teman-teman kecilnya sesungguhnya juga mewarisi semangat mencintai lingkungan. Mereka mandi di sungai Cikaengan tanpa sabun mandi. Tahukah kamu apa yang dikatakan para orang tua mereka tentang sabun mandi? Bukan karena tak mampu membeli. Mereka berprinsip mandi adalah membersihkan diri, jangan sampai diri sendiri bersih namun sungai malah dikotori oleh kandungan deterjen yang ada dalam sabun. Karena prinsip itulah mereka mandi tanpa sabun.

Mandi bagi Badru dan temannya berarti nyebur ke sungai, berenang, dan bermain air. Saat menyeberangi sungai untuk berangkat ke sekolah, mereka yang sebelumnya sudah mandi, berarti mandi lagi. Tak ada masalah bagi anak-anak ini berapa kali harus mandi setiap harinya. Kadang mereka bisa mandi 6 hingga 7 kali dalam sehari! Saking asyiknya kadang saat menyeberang sungai, mereka bermain-main dengan air sungai hingga lupa waktu. Hasilnya tentu saja mereka terlambat untuk sampai ke sekolah. Lucunya adalah bila waktu pelajaran telah dimulai, namun murid-murid di kelas belum lengkap maka seorang guru akan menyusul ke pinggir sungai, berteriak-teriak memanggil Badru dan kawannya untuk segera masuk sekolah. Kalau sudah begini tak ada lagi yang berani tertawa, bahkan tak jarang dari sungai mereka langsung meloncat menuju daratan, menyambar seragam mereka yang ditaruh di batu kering, berlari sekuat tenaga menuju sekolah, tak sadar bahwa sesungguhnya mereka belum berpakaian.

Tak seperti sekolah kebanyakan, kondisi kelas-kelas SDN Karyasari amat sangat memprihatinkan. Jangan pernah bandingkan kondisinya dengan SD swasta di kota besar, terlebih sekolah dengan taraf internasional. Membandingkan SDN Karyasari dengan sekolah taraf internasional seperti membandingkan kecepatan motor sport 500cc yang dikemudikan Valentino Rossi dengan sepeda kumbang yang dinaiki Umar Bakri.

Murid-murid disini tak ada yang kenal mesin canggih bernama komputer. Mereka hanya kenal namanya dan hanya pernah melihat bentuknya dari foto sebuah majalah. Dari melihat foto dan cerita tentang kecanggihan alat ini saja sudah cukup membuat mereka terbengong-bengong. Dari seorang guru yang pernah belajar menggunakan komputer, cerita kecanggihan komputer beredar cepat ke pelosok desa, padahal sang guru hanya menjelaskan bahwa komputer bisa menggantikan mesin tik sehingga jari-jari tangan tidak terlalu pegal dan tidak menimbulkan suara berisik.

Atap asbes sekolah tak layak lagi dijadikan sebagai peneduh dari panas dan hujan. Bila panas terik, sinar matahari menerobos masuk dari celah asbes yang pecah, seolah sinar mentari ingin ikut belajar di dalam kelas. Sementara bila hujan kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Murid-muird dalam kelas harus saling merapat ke depan kelas, karena bagian belakang kelas mereka basah bukan oleh bocoran air hujan tapi ada air terjun masuk ke dalam kelas!

Lantai kelasnya bukan lantai keramik apalagi marmer yang halus. Lantainya adalah ubin tegel kasar yang sebagian mulai pecah-pecah. Beberapa bagian tak berubin dan hanya diplester dengan adonan semen yang kompisisinya lebih sedikit dibandingkan pasir, hasilnya adalah plesteran kasar bergelombang tak rata.

Murid-murid sekolah ini sedikit yang berangkat dengan sepasang sepatu dikaki. Bila diurutkan jumlah paling banyak adalah murid yang mengenakan sandal jepit, urutan kedua adalah mereka yang bertelanjang kaki alias tanpa alas kaki, dan terakhir adalah jumlah paling sedikit yang hitungannya tak lebih dari banyaknya jari-jari di dua tangan, yaitu murid yang memakai sepatu. Diantara murid yang memakai sepatu pun sebenarnya sepatu mereka tidak masuk kategori pantas.
Ada diantara mereka yang tetap bangga memakai sepatu meski solnya seolah seperti mulut buaya yang terbuka lebar, ada juga yang beberapa jarinya mulai menelusup keluar dari lubang yang ada di bagian depan sepatu.

Meski demikian kaki-kaki mereka seolah tak ingin berhenti masuk ke dalam kelas, karena itulah ruang dimana mereka mengisi hati dan pikiran dengan ilmu pengetahuan yang berguna. Yang juga memprhatinkan adalah saat hujan dimana jalan-jalan desa yang dilalui kaki-kaki kecil mereka berubah menjadi jalan becek berlumpur, lumpur-lumpur itulah yang menempel di langkah mereka dan mereka bawa hingga ke dalam kelas, alhasil lantai kelas mereka tak jauh beda dengan lapangan tanah tempat mereka bermain bola.

Begitulah kondisi yang terlihat. Meski demikian apa pun alas kaki mereka atau tanpa alas kaki sekalipun, semua diterima dengan senyum ramah oleh para guru saat mereka masuk ke dalam ruang kelas. Senyum ramah menyambut calon-calon penerus masa depan bangsa.

* * *

Pagi masih dingin dan basah, Badru berdiri lesu di pinggir sungai. Baju putih yang dikenakannya tak terlihat bersih, maklumlah baju itu adalah baju yang dikenakannya sejak dua hari sebelumnya. Celananya masih celana merah yang sama, yang resletingnya rusak. Bocah kecil ini tak peduli dengan sisa hujan yang masih rintik setitik demi setitik menetesi kepalanya. Badru membayangkan bahwa teman-temannya disekolah pada saat yang sama pasti sedang menyiapkan upacara Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei. Namun Sungai Cikaengan seolah marah, berwarna coklat, lumpur teraduk-aduk diderasnya arus, awan di arah hulu sungai terlihat hitam tebal, dan batu besar bundar mirip bakpau yang berdiri di tengah sungai tak nampak, genap sudah semua tanda bahwa sungai tak mungkin diseberangi. Badru hanya membayangkan seandainya ada jembatan diatas sungai itu, Ia dan teman-temannya tentu dapat segera berlari menuju sekolah.

Titik-titik gerimis makin deras. Hanya pandangan matanya yang sampai ke seberang sungai. Sungai bertambah marah dengan gemuruhnya. Matanya tak berkedip meski hujan mulai membasahi kepala, wajah dan matanya. Ia beranjak pulang, langkahnya lesu, matanya basah oleh hujan bercampur air mata.

Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2007

0 komentar:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template