Kamis, 18 Desember 2008

SURAT UNTUK PERTIWI



"Astagfirullah!..." tubuhku teguncang saat terbangun dari tidur, "Ya Rabbi mimpi apa aku ini." Kuraih konsentrasiku dan kujemput gambaran mimpiku tadi yang menajuh dari ingatan. "Innaa lillahi wa innaa ilaihi roji'un. Ya Rabbi kenapa di Desaku terjadi kemarau yang begitu panjang yang menyebabkan warga menderita. Ya Allah semoga mimpiku ini bukan kenytaan" tukas hatiku yang baru saja mengenang mimpi jelek yang datang ditidurku. kuusap kening dengan tangan kananku yang basah dengan peluh. Malam itu angin berhembus kencang membawa bau tanah kering dari sohro belakang kos tempakku tinggal, menorobos jendela kamar dengan angkuhnya, menusukan hawa dingin kesekujur tubuhku kala terbalut selimut usang yang aku beli dari Atabah tiga tahun lalu. Suara hewan malam di taman depan rumah kosku saling sahut-menyahut menyambut musim dingin di negri kinanah ini. Deru kendaran dan nut-notnya klakson tidak henti-hentinya dari pagi samapai saat ini, pertanda sibuknya aktivitas manusia di dunia ini yang kadang hanya untuk menyelamatkan satu nyawa orang yang dicintainya. Jam 2:15 menit gumamku sambil melihat kembali jam dinding yang masih tergantung seperti semula sebelum aku tidur, hanya suara detak jarum sekonnya yang terus berputar untuk membentuk menit, menitpun saling berkait menyatu dan jadilah jam, sebagi informasi bagi siapa saja yang menatapnya.

Kuangkat selimut usang itu dan kulipat menjadi empat lipat, ku dorong dua pasang kakiku supaya turun dari ranjang kayu yang sudah mulai agak reyot. "Alhamdulillah ya Allah Engkau masih memberikan umur untuk mengarungi hidup ini" ucap bibirku mengucap syukur, kudorong daun jendela yang menjadi benteng pertahanan dari serangan angin sohro yang dingin itu brak jendela itu terbuka, angin sohro pun kembali menampar wajahku yang melongok keluar, tapi aku tidak mempedulikan serangan angin itu yang kulihat sekarang adalah pagar benteng yang mengelilingi temapat kosku, masih tetap seperti biasa berdiri tegak sebagai patroli yang dipasang oleh manusia, tembok itu masih berwarna putih yang kotor dengan debu-debu gurun, karena jarang di siram. Lampu neon yang menunpang diatas tiangpun masih berwarna putih membiasakan cahaya di sekitarnya. Kuangkat kepalaku melihat langit yang berhiaskan kerlap-kerlip bintang yang kadang redup terhalang awan yang numpang lewat dimukanya.

Lamunanku kembali menjemput, mimpi buruk yang telah berusaha kami lupakan hadir kembali dibenakku. "Kenapa Ya Allah kuimpikan daerah kelahiranku yang Aku cintai begitu banyak penderitaan, kekeringan di sana sini, semoga ini bukan pertanda buruk situasi di negriku" ujar lamunanku membisikan mimpi tadi. "Seandainya aku hidup di Mesir ini masa Nabi Yusup as, tentu hari esok aku akan menemuinya untuk mena'wil mimpi yang menyesakan dadaku" tandas lamunanku. Akupun tersadar ketika tiba-tiba angin sohro itu menampar kembali dengan kencangnya dan entah yang keberpa kalinya. "Astagfirullah kenapa aku terbawa lamunan." Kesadaranku menjemput.

Masih di sepertiga malam itu Kugiring kedua kaki menuju kamar mandi, kubasahi wajahku yang penuh dengan noda dan dosa yang disengaja atau yang tidak aku sadari "Ya Allah putihkan wajahku di hari Engkau putihkan wajah-wajah kekasih-Mu dan jangan-Lah Engkau hitamkan wajahku dihari Engkau hitamkan wajah musuh-musuh-Mu" Ku bungkus tubuhku dengan baju koko dan sarung, akupun takbir, ruku dan bersujud disepi malam itu, kuangkat kedua tanganku menengadah dengan penuh harap dan pinta kepada yang maha kuasa "Ya Robbi Aku ini hamba yang lemah yang tidak mampu melakukan segala apapun kecuali apa yang telah Engkau tuliskan bagiku, Ya Allah semoga Engkau mengampuni dosaku dosa ibu bapaku, dosa guru-guruku, dosa sanak saudaraku dan dosa kaum muslimin. Ya Allah semoga Engkau memberikan kesejahteraan bagi diriku, orang tuaku dan negriku, semoga penduduk negri kami menjadi orang yang ahli bersyukur dan semoga negri kami menjadi negri yang sejatera."

Masih di seper tiga malam itu aku teringat akan sebuah kiriman dari Emakku tercinta yang dititipkan kepada Bang Ihsan yang kemarin sore tiba di Mesir setelah pulang kampung untuk menghadiri pernikahan adiknya. Emakku memang tidak menitip uang ratusan dollar dan juga tidak mengirim graman emas permata, tapi hanyalah selemabar kertas yang telah di penuhi tulisan tangan hurup sambung ciri has keluaran SR tahun 60-an. Kubuka lipatan kertas yang tadinya tertutup amplop warna putih itu.

12 Agustus 2007

Untuk Ananda, Taupik. M

di

Kairo, Mesir

Pik! Anak Ema yang baik hati. Bagaimana kabarmu? Semoga selamanya kamu sehat wal afiat tidak kurang sesuatu apapun dan dalam lindungan Allah yang Maha agung. Du'a Ema yang akan selalu menyertaimu anakku yang sedang memcari ilmu di negri yang sangat jauh dari kampong halaman kita, kata orang di negri tempat hidupnya para Nabi.

Opik! Anak Ema yang selalu hadir di hati Ema siang ataupun malam, kadang Ema merasa takut kehilangan diri kamu wahai anaku yang penaat dan selalu membantu orang yang sedang kesusahan, Ema masih ingat kamu itu anak Ema yang punya cita-cita yang mulia.

Opik! apakah kamu suka demo dengan teman-temanmu, seperti temanmu yang ada di negri ini, katanya membela rakyat dan memperjuangkan keadilan, Ahh Pik Ema kurang paham Kenapa membela rakyat kecl itu mesti dengan demo kenapa mereka tidak turun kemasyarakat untuk sekedar mengajak anak-anak desa supaya bisa menulis yang namanya kebenaran. Opik! Ema yakin kamu lebih paham tentang arti kehidupan masa sekarang, Ema itu terlalu bodoh dan tidak tahu apapun yang di kerjakan orang-orang yang disebut mahasiswa. Pik! ataukah kamu hanyalah seorang pendiam yang tidak tahu menahu tentang kehidupan masyarakat negri ini, bahkan lengahnya pejabat kita itu tidak pernah kau ingatkan.

Pik Ema takut kamu itu telah melupakan Ema yang telah melahirkanmu, telah melupakan ayahmu yang memberi kamu nama yang sangat menyangimu, bahkan tanah warisanya telah Ema jual untuk ongkos keberangkatanmu keluar negri. Ema juga takut kalau kamu tidak lagi mencintai negrimu yang belasan tahun kamu hidup di atasnya.

Anakku negeri kita sekarang sedang menangis tersedu meminta seseorang untuk menjadi pahlawan, yang berjuang dengan ikhlas menylelamatkannya dari kejahatan tangan jahil yang tiap hari mengusik ketenangannya. Anaku saying, bahkan negri kita juga sedang marah melihat moral-moral bejad yang tidak tahu mengapa mendarah daging di negri kita yang dulu selalu tersenyum itu.

Pik! kamu mesti tahu setelah sholat magrib Ema itu merasa sedih hati, bahkan air mata Ema menetes diatas tempat sujud, Pik! dulu kamu dan teman–teman kamu mengaji menghapal surat-surat alqur'an di surau samping rumah kita itu, kini semua tinggal cerita, anak seusiamu dulu sekarang bukan pena ataupun buku yang mereka pegang tapi alat–alat teknologi moderen yang mampu mengrakan gambar mobil sampai gambar patung mampu bermain sepak boala. Pik! dimana sekarang orang yang mengajarkan ilmu agama walaupun tampa upah. Ema sangat berharap cepatlah pulang kenegri asalmu unutuk memjadi seorang pahlawan yang di cintai warga, jadilah kamu itu orang yang ikhlas berjuang mengangkat martabat negeri kita, supaya warganya tahu arti kebenaran dan tahu rasa Syukur.

Wassalam

Emamu

Zainab

***

Matahari pagi menyapa hangat ketika aku melangkahkan kaki menuju halte bis mahhatah Tajamu, cahaya keemasan sang mentari itu mejadi sebuah hiasan alam yang setiap hari kusaksikan, desir angin pagi memberikan kesegaran yang mengingatkan akan kelemahan jasadku dan banyaknya nikmat sang maha kuasa. Lari kencangnya El-Traco membawa tubuhku ke kampus Al-azhar di Darrosah, di sanalah aku kuliah mencari ilmu.

Sampailah aku di gerbangnya setelah memperlihatkan kartu mahasiswa kepada petugas, akupun masuk untuk mengikuti muhadarah sebagai rutinitas terpenting bagi maha siswa di kampus ini, yang kadang para mahsiswa menganggapnya hal sepele. Setelah muhdoroh beres akupun bergegas menuju mesjid Al-Azahr untuk melakukan solat dzuhur. Setelah beres shloat keroncongan perutku menyuruhku untuk mengisinya, akupun pergi kesebuah Matham, setiba di matham itu aku pun mengucapkan salam kepada penjaga warung itu "Assalamualikum". "Wa alaikum salam" jawabnya penuh keramahan. "Izzayak Ya Ahmad Sukarno" dia mendahuluiku menyapa "Alhamdulillah Quaisy" jawabku. Memang sudah menjadi kebisaan bagi orang Mesir bila menyapa orang Indonesia dengan sebutan Ahmad Sukarno mengingatkan kita kepada salah seorang presiden RI dan pahlawan proklamasi yang pernah mengadakan perundingan NonBlok dengan presiden Mesir Gammal Abdul Nasser. Setelah beres makan akupun kembali ke Mesjid untuk menunggu sholat ashar, aku duduk termenung mengingat kembali akan mimpi yang malam tadi menemuiku. Aku merasa mimpi tersebut adalah bisikan pertiwi yang memangil-manggil untuk di sayangi. Tanpa kusadari tanganku mengambil secarik ketas dari tasku penapun sudah ada digenggamanku, tidak terasa tanganku bergoyang menuliskan beberapa patah kalimat yang aku tujukan buat pertiwi.

14 agustus 2007

Untuk Pertiwi,

Ema! terimaksih atas kabar yang telah Ema Informasikan kepadaku, saya juga mengucapkan terimakasih kepada Ema yang telah memberikan kabar tentang Pertiwi yang selalu aku cintai. Ema, Pertiwi! Kabarku sekarang ini sehat tidak kurang sesuatu apapun, mungkin ini berkat doa semuanya yang selalu menyertaiku.

Pertiwi kenapa selama ini kamu terus bersedih, bukanya telah banyak orang yang paham akan kebenaran dan keadilan.

Pertiwi, janglah bersedih sebenarnya masih banyak orang yang mencinatimu dan menginginkan kamu tersenyum penuh kebahgiaan. Kabar yang di ceritakan oleh Emaku, tentang keadaan kamu sungguh membuatku bersedih, tapi saya berjanji akan menyelamatkanmu dari tangisan itu. Pertiwi terlalu banyak jasamu bagi saya dan orang-orang yang singgah disana.

Pertiwi kenapa pemerintah kita, sering jahil terhadapmu, bahkan tanpa ragu merusakmu tanpa belas kasihan. Kenapa orang-orang selalu memperingati kemenanganmu, tapi belum bisa menjadikan kamu bahagia.

Pertiwi! Gelarku mahsiswa yang kata orang adalah orang pintar, tapi kami tidak berdaya untuk menyelamatkanmu hanya seorang diri.

Pertiwi! Kalau kamu tahu kenapa teman-temanku suka berdemo, niat mereka itu sayang akan kamu, tapi kadang mereka lupa akan batas dan akhirnya menjadi pertumpahan darah.

Pertiwi, mungkin kamu juga masih ingat demo teman-temanku yang berhasil membahagiakan kamu, reformasi sebuah bukti kegigihan temanku menyelamtkanmu dari tangan penghianat. Bahkan mungkin kamu juga ingat ketika temanku Arif Rahman Hakim gugur dalam Tritura untuk menyuarakan kepentingan bersama.

Pertiwi! peranku sekarang hanyalah belajar mencari bekal untuk menyeka air matamu yang terus membanjiri pipi manismu. Janganlah kamu bersedih karena jumlah temanku, yang diberi gelar mahsiswa bukan satu orang bahkan ribuan orang. Pertiwi! kamu itu adalah yang aku sayangi semoga kamu sejahtera. Pertiwi kamu itu adalah Indonesiaku yang terbentang luas yang sudah seharusnya kamu tersenyum seiring usia merdekamu sudah setengah abad.

Wassalam

Taupik Mahasiswa Indonesia

***

"Allah-hu Akbar Allah-hu Akbar" Suara Muadzin menyadarkan jiwaku yang sedang melamun menuliskan keperihatinan diriku terhadap kesediahan Pertiwi. Pertiwi percayalah aku akan membelamu.

By : Kang Bahra

____________________________________________

Sohro = Gurun Bhs Arab

Mahhatah = Terminal

El-Traco = Angkot

Muhadarah = Pembelajaran

Matham = Rumah makan

Izzayak = Apa kabar

Quaisy = Baik

0 komentar:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template