Minggu, 21 Desember 2008

Penumpang Bis di Negri Seribu Menara



Dua tahun dua bulan aku berdomisili di Mesir. Negara Mesir terkenal dengan julukan tanah Kinanah, negri Fir'aun, lembah Nil, negrinya Para Anbiya, juga ada sebutan masyhur yaitu negri Seribu Menara.

Suatu hari setelah mandi dan sarapan, seperti biasa sholat Duha terlebih dahulu sebelum berangkat ke kampus Universitas al-Azhar. Aku pun berangkat kuliah jam 7:30, aku berangkat tergesa-gesa, karena di kampus ada madah (pelajaran) hadist yang mesti aku hadiri. Setelah mengucapkan salam kepada teman-teman di rumah, kulangkahkan kaki menuju halte bis Tajamu Awal, yang berjarak kira-kira 300 meter dari kosanku.

Baru saja sampai halte, tak seperti biasanya duduk lama menunggu bis atau angkot datang, waktu itu bis warna biru langsung muncul dari arah timur yang sudah pasti akan menuju mahatah (terminal) Zahra.

Bis nampak penuh dengan para umal (buruh), aku pun terpaksa berdiri. Memang sudah menjadi hal lumrah, bila naik bis di negri seribu menara ini sangat berdesakan dan tentunya harus rela untuk berdiri. Di bis aku mencoba mengambil mushaf mini di saku tas, untuk mengulangi hapalan Qur'an. Membaca Al-Quran di dalam bis sudah menjadi kebiasaan bagi semua orang muslim di negri Kinanah ini. Malang mushaf yang biasaya kubawa di tas, ternyata ke tinggalan di rumah, karena tidak ada mushaf, aku mencoba menikmati perjalanan dari Tajamu ke Zahro dengan memperhatikan tingkah laku para umal yang ada di sisi kanan kiriku.

Betapa tertegunya diriku, karena dari sekian banyak umal itu, tidak ada seorang pun yang curang tidak membayar ongkos, padahal penumpang sangat berdesakan. Kumsari (kondektur) pun sangat jauh dan hanya duduk santai di kursi mungil di dekat pintu belakang. Ku coba terus memperhatikan mereka, ternyata mereka sangat memperhatikan ujroh (ongkos) bis. Ketika posisi mereka di depan atau jauh dari kumsari, mereka saling titip–menitip ongkos itu dari tangan ke tangan, terus ku perhatikan ternyata semua ongkos sampai ke tangan kumsari dan kembalianya pun sampai lagi tepat di penumpang yang memberikan ongkos tanapa kurang sedikit pun. Sebenarnya peristiwa seperti itu terjadi setiap hari. Akhirnya bis yang saya tumpangi, samapailah di mahatoh Zahra.

Setelah menikmati peristiwa di bis tadi, ingatanku masih teringat dengan kejujuran para penumpang bis Tajamu Zahro. Maka aku akupun berniat perjalan Zahro ke Darrosah akan mengamati semua tingkah laku para penumpang terutama dalam membayar ujroh .

Setelah setengah jam aku menunggu Bis di mahatoh Zahro, akhirnya muncul juga bis nomber 80 yang menghubungkan Zahro dengan Darrosah. Dan di daerah Darrasoh inilah aku kuliah.

Sesuai niatku, ku perhatikan para penumpang bis tersebut, sejak naik bis sudah kuperhatikan seluruh gerak-gerik para penumpang, dimana mereka tersusun dari para mahsiswa misriyin (­peribumi) atau pun wafidzin (asing) dan penumpang lain yang terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu, bahkan ada juga para pelajar I'dadi (SD) yang kebetulan naik.

Pada pemungutan ongkos pertama, si Kumsari atau Kondektur menghampiri seluruh penumpang sembari memungut ujroh (ongkos) dan memberikan tazkirah (karcis) kepada tiap penumpang. Tapi setelah mobil melewati daerah Hayal el-Asyir. Dimana di sanalah para penumpag mulai membeludak. Dari sana banyak sekali para penumpang yang naik, sehingga penumpang dalam bis sangat berdesakan, makin jauh penumpang makin banyak saja, malah melangkahkan kaki dalam bis tersebut sangat susah.

Masih tentang kejujuran para penumpang bis di negri Seribu Menara ini yang menjadi perhatianku. Subhanallah, ternyata ongkos yang disamapaikan oleh para penumpang semuanya sampai di ­kumsari. Adapun karcis dan kembalian semunya bisa samapai juga kesetiap penumpang tanapa ada perotes sedikit pun. Bahkan penumpang yang paling jauh pun tidak pernah kehilangan ongkos atau karcis jatahnya. Walaupun melewati beberapa tangan.

Aku sangat yakin semua penumpang membayar ongkos sesuai dengan jumlah yang telah di sepakati dan semua penumpang pun mendapatkan karcis dan kembalian sesuai pembayaran mereka.

Dari peristiwa ini menjadi ibrah bagi kita, betapa indahnya bila kejujuran itu bisa kita realisasikan dimana saja, walaupun situasi dan peluang sangat terbuka lebar untuk melakukan kecurangan, mulai memanipulasi uang ongkos, tidak membayar pun sangat mungkin sampai mengambil kembalian, tapi para penumpang bis di negri Seribu Menara ini sangat menjaga kejujuran dan keamanahan dan perlu kita tiru.(wallahu a'lam)

0 komentar:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template